Pages

Friday, June 28, 2013

Fiksi?

“Boleh aku baca salah satu cerpenmu?”

Kuangsurkan selembar kertas yang baru saja selesai aku tuliskan sepenggal cerita.
*
“Haruskah aku memilih?”

“Antara aku dan ibumu? Tentu saja tidak, kamu tak perlu memilih.”

“Jadi?”

“Aku melepasmu, berbaktilah. Aku tak sempat berbakti pada ibuku karena beliau pergi sebelum aku sempat melakukannya. Anggap saja dengan melepasmu dan membuatmu berbakti pada ibumu, itu bisa dikatakan caraku berbakti pada seorang yang ingin aku panggil ibu.” Walau kelu, akhirnya aku mampu mengucapkannya.

“Maafkan aku.”

Melihatmu pergi, itu salah satu masa yang paling sulit untuk kulupakan. Seakan kamu telah membawa separuh bahagiaku, dan aku terasa timpang sekarang. Walau senyuman yang kuberikan dipertemuan terakhir kita, mungkin kamu tak pernah tahu bahwa hatiku menjerit, pilu. Biarlah semua kusimpan untukku sendiri.
*
“Kenapa tulisanmu selalu berakhir sad ending?” Tanyamu selesai membaca, dan kemudian mengangsurkan kembali kertas itu.

Sambil tersenyum aku menjawab, “bukankah lebih baik berakhir sad ending di sebuah tulisan fiksi daripada di kehidupan nyata.”

Reaksimu hanya tersenyum sambil mengacak rambut pendekku. Kebiasaan.

***

Satu tahun kemudian.

Aku tak tahu, mengapa aku masih saja mempertanyakan tentang cintamu. Bukan… bukan tentang kesetiaanmu, tetapi cintamu. Walau aku takut kamu akan pergi dengan orang lain tapi aku lebih merasa takut ketika kamu akhirnya memilih aku tanpa ada rasa cinta dihatimu. Walau akupun tak memiliki jawaban saat akhirnya kamu bertanya, “lantas jika bukan karena cinta maka untuk apa aku tetap memilihmu?”

Ya, aku selalu terdiam saat akhirnya kamu melontarkan pertanyaan itu. Walau aku ingin menjawab, “aku akan tahu alasannya jika kamu mengatakannya, bukankah hanya kamu yang memiliki jawabannya.” Namun kalimat panjang itu hanya aku telan dalam pikiranku.

Entah apa karena aku takut kamu tak akan mencintai aku sebesar cintaku padamu, atau karena apa. Seorang teman berkata padaku, “jangan berpikir yang macam-macam karena kamu tak akan tahu mana yang akhirnya menjadi semacam doa, dan baru menyesali setelah ternyata pikiranmu itu menjadi kenyataan dan melukaimu sendiri.”

Ah, tapi entah mengapa skenario luka itu seperti sudah terpatri dalam otakku. Semua tertuang dalam setiap cerita-cerita fiksi yang aku tuliskan. Aku selalu mengatakan itu fiksi, walau aku pun tahu pasti bahwa itu semua adalah bayangan yang entah bagaimana seakan benar terjadi antara aku dan kamu.

“Kenapa tulisanmu selalu berakhir sad ending?” kamu pernah menanyakan itu.

Dan selalu seperti jawabanku pada semua yang juga pernah bertanya pertanyaan yang sama, “bukankah lebih baik berakhir sad ending di sebuah tulisan fiksi daripada di kehidupan nyata.”

Reaksimu hanya tersenyum sambil mengacak rambut pendekku. Kebiasaan.

Hingga kemudian, beberapa saat lalu sebelum aku menuliskan ini semua, satu tulisanku seakan berwujud nyata. Ketika kamu mengatakan, “aku sayang kamu, tapi apakah salah saat aku ingin menjadi anak yang berbakti?”

Ya, pertemuan tadi menjadi pertemuan terakhir kita. Seperti halnya dalam cerita yang pernah aku tulis, aku akhirnya memilih melepaskanmu. Tapi anehnya jika dalam ceritaku aku menuliskan bahwa ada kesedihan yang tergambar jelas tetapi saat ini yang kurasakan hanya hampa.

Mungkin aku sudah bersedih sebelum akhirnya ini terjadi, dan aku sudah lelah merasakan sedih yang sepertinya selama ini aku sangkal.

Wednesday, June 26, 2013

Aku, aku yang menyakitimu.

Aku masih sangat ingat percakapan itu, setiap detail kata yang ia ucapkan.

***

"Mengapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa aku berbuat salah?"

Bukannya menjawab pertanyaanku, kamu justru menodongku dengan pertanyaan lain. Ya, walau memang wajar kamu bertanya seperti itu ketika aku tiba-tiba bertanya, "Bagaimana kalau kita jalan masing-masing dulu?"

"Aku hanya tak ingin menyakitimu." kataku sambil menatapmu, menatap dua bola matamu yang aku tahu mulai ada sedikit air mata disana. Ah, aku benci situasi ini. Tapi memang itulah alasanku.

Kamu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berujar, "kamu tak pernah menyakitiku, tak tahukah bahwa kamu salah satu sumber bahagiaku?"

Mendengar ucapanmu, ganti aku yang hanya bisa terdiam. Aku ingin merengkuhmu dalam pelukanku, ingin mengatakan aku sedang becanda, tapi tidak... aku tak bisa lagi memelukmu dan aku tidak sedang becanda.

"Aku... aku hanya tak ingin ada orang lain, khususnya keluargaku yang menyakitimu."  Entah kamu mendengar ucapanku itu atau tidak, karena entah mengapa lidahku terasa kelu dan akhirnya aku mengatakannya sambil menunduk serta suara yang keluar layaknya sedang berbisik. Sedetik kemudian saat aku kembali menatapmu, aku tahu bahwa kamu mendengarnya.

Kamu hanya diam, walau aku tau dari sorot matamu mengatakan kamu percaya dengan alasanku juga tersirat bahwa kamu tak setuju dengan ucapanku itu. Tapi tak ada satu katapun yang terucap darimu.

Hingga akhirnya aku putuskan untuk pulang. Ketika aku hendak menyalakan mesin motorku, tiba-tiba kamu berkata, "Baiklah, jika itu maumu. Jika itu yang terbaik menurutmu."

Sedikit kaget aku mendengar ucapanmu itu, hingga aku hanya bisa diam. Tak tahu harus berkata apa, karena rasa nyeri begitu meraja dihatiku, rasa yang beberapa hari ini berusaha aku tepis. Dan aku hanya bisa menatap punggungmu menjauh, hingga kamu menutup pintu rumah.

Aku mulai melajukan sepeda motorku, tapi akhirnya aku berhenti tak jauh dari rumahmu. Saat aku masih terdiam di atas sepeda motor, tiba-tiba ada pesan masuk di HPku, darimu.

Apakah kamu tak pernah tahu, bahwa hal yang menyakitiku tak mudah diciptakan oleh orang lain, kecuali mereka merenggut sumber bahagiaku.

***

Seminggu kita tak bertemu, tak saling memberi kabar. Walau aku ingin tapi bukankah perpisahan itu aku juga yang inginkan, maka kuurungkan niat setiap kali ingin menghubungimu.

Aku menyesal saat terakhir kita bertemu, aku tak merengkuhmu dalam pelukku. Aku hanya tak menyangka bahwa aku tak kan lagi bisa memelukmu, selamanya.

Hari ini aku putuskan untuk menemuimu, tapi aku tak kuasa untuk melihatmu. Tapi jika tidak sekarang, maka aku tak akan memiliki kesempatan lagi.

Kini aku hanya bisa melihatmu, mengagumi kecantikanmu, tanpa bisa lagi memelukmu. Aku hanya bisa berujar lirih, "Maafkan aku..." dan air mataku memaksaku menjauhimu. Menjauhi jasadmu yang sesaat lagi akan dikebumikan.

Aku berusaha menjauhkanmu dari orang-orang yang aku anggap dapat membuat hatimu terluka, justru aku yang membuatmu terluka.

Seribu jalan untuk move on.

Post ini lanjutan dari postingan kemarin, ketika seorang teman membuat aku kembali berpikir, "apakah aku masih sedikit berharap untuk dapat kembali berhubungan dengan masa laluku?"

Aku masih tak memiliki jawaban tegas, iya atau tidak. Tapi ada beberapa alasan aku tak semudah itu melakukan seperti yang dilakukan oleh dua orang itu. (Baca post sebelumnya ya, biar ngeh!)
Aku memang tetap mempertahankan account lama mulai dari email, facebook, twitter, bahkan tadinya juga no HP (tadinya, yup karena akhirnya terpaksa ganti karena habis masa tenggang dan kelupaan diisi, ck!) Kenapa? Kalau pertanyaannya kenapa aku masih mempertahankan itu semua, maka aku jawab juga dengan pertanyaan : kenapa hanya karena satu tikus harus membakar seluruh ladang?

Mungkin benar juga kata temanku, mereka yang begitu mudah menghapus masa lalu itu karena merekalah yang memutuskan suatu hubungan. Mungkin karena takut kekasih lamanya gangguin kali yak, walau menurutku mereka GR banget sik! hihi. Kenapa aku sebut GR karena ya yakin banget gitu mantannya bakal ngeganggu, sapa elo #eaaa

Memang benar cara orang untuk move on tuh beda-beda. Aku bukan termasuk yang berusaha menghapus kenangan/masa lalu dengan cara menghindarinya. Bagiku masa lalu/kenangan itu nggak bisa dihapus, itu semua adalah bagian dari diri yang bisa jadi berperan dalam membentuk diri kita yang sekarang. Berusaha menghapus hal-hal buruk dengan cara menghindarinya, ah... berapa banyak cara coba buat masa lalu itu tiba-tiba hadir tanpa perlu kita sengaja untuk hadirkan?

Bagaimana kalau ketika akhirnya masa lalu itu berhasil "dihapus" kemudian ada hal yang tiba-tiba buat kita mau tak mau mengingatnya?

Seorang teman menjawab : ya udah, ketika tiba-tiba ingat cukup sekilas aja kemudian tak perlu dipikir-pikir/dirasakan lagi.

"Kamu beruntung!" kataku padanya.

Yup, karena kadang orang yang tiba-tiba ingat, sedangkan rasa yang tertinggal tadinya adalah kecewa, marah, atau sedih maka rasa itu kembali ikut terangkat.

Nah, aku nggak mau seperti itu. Karenanya walau mungkin awalnya susah tapi aku berusaha berdamai dengan keadaan itu, hingga akhirnya biar waktu yang mengantarkanku pada titik dimana aku bisa melupakan.

Jadi aku tidak mengganti semua account, bukan karena ingin berhubungan dengan masa lalu (tidak memutuskan tali silahturahmi kan hal yg baik toh :p) tapi lebih karena itu caraku berdamai dengan masalahku.

Ya... memang sie cara orang move on beda-beda. Gimana cara move on-mu?

Monday, June 24, 2013

Apa aku??

Sudah baca tulisanku dengan judul Arigatou?

Ada yang berkomentar secara langsung melalui japri :) lebih tepatnya mungkin bertanya, seperti ini : "Emang kamu pernah dicampakkan? Melakukan (tak menyesali apa yg pernah terjadi) gak semudah menuliskan, Nge!"

Apa jawabku? Aku tak menjawab apa-apa. Karena tau apapun jawabku (saat ini) tak akan pernah memuaskan untuknya yang sedang patah hati. Walau aku ingin ngomong keras-keras ditelinganya "Woiiii gak ada yg bilang akan mudah woiiii... lu kira hidup gue mulus-mulus aje??" *coba sejak kapan aku jadi orang betawi yg pake lu gue, ckck*

Sebenarnya aku juga punya pertanyaan yang sama untuk dua orang yg aku kenal (maap, tak bisa sebut merk) yang bagiku begitu mudah menghapus masa lalu. Bukan hanya semudah menekan tombol unfollow di twitter atau remove friend di facebook. Bahkan mereka (2 orang ituh) ketika putus dengan kekasihnya begitu mudah mengganti account twitter, account facebook, nomer telpon, email bahkan sampe rela terputus koneksi dengan teman-teman lamanya.

Awalnya aku bertanya, semudah itu kah? Untuk apa?

Lantas ada yang memberiku opsi jawaban.
1. Mudah, karena mereka yang mutusin hubungan jadi mereka mungkin nggak mau lagi terganggu dengan masa lalu yang memang sudah mereka niati untuk ditinggalkan.
2. Untuk apa... ya mungkin itulah cara mereka untuk move on, bukankah cara masing-masing orang berbeda.

Yup, sepertinya aku menerima saja opsi itu, karena tak mungkin menanyakan langsung pada 2 orang yang melakukan itu.

Lantas temanku bertanya, kalau kamu pasti tak mudah melakukan hal-hal seperti itu, kenapa?

Belum sempat aku menjawab, temanku itu menebak jawabanku dan tebakannya itu membuatku berpikir. Tebaknya, "apa karena kamu masih sedikit (ya, dimenekankan pada kata ini) berharap masih bisa menjalin hubungan dengan masa lalumu?"

Dalam pikiranku, benarkah aku seperti itu??

Sunday, June 23, 2013

Sebuah (wakil) Rasa

Pernah merasakan bahwa sebuah lagu (seakan-akan) diciptakan untukmu?

Saya senang merangkai kata, menjadikannya ketika dibaca seperti menjadi layaknya puisi. Juga senang merangkai kata, menjadikannya sebuah cerita yang kadang ketika ada yang membaca seolah-olah itu nyata.

Idenya terkadang memang dari kejadian yang nyata terjadi tetapi imajinasi akan menggiring menjadi satu cerita baru yang akhirnya menjadikannya benar-benar fiksi. Begitu juga rangkai kata (seperti) puisi yang tercipta, tak jarang yang membaca menganggap itulah apa yang sedang terjadi pada (rasa) saya.

Tapi, mereka salah. Walau ya ada secuil dari rangkai itu adalah bagian dari roda perjalanan saya tapi nggak plek ketiplek sama. Saya tidak terlalu berani untuk menuturkan secara gamblang apa yang terjadi dengan (rasa) saya.

Anehnya. Yup, anehnya, justru apa yang saya rasakan justru terkadang begitu gamblang terwakili oleh lagu yang bahkan penciptanyapun pasti tak mengenal saya. Atau terkadang melalui cuplik cerita dalam sebuah novel. Hingga akhirnya menemukan kata-kata yang begitu menohok, dan membuat saya berkata : yup, kalimat ini aku banget!

Kamu pernah merasa begitu?

*isenglagipengenupdate*

Thursday, June 20, 2013

Arigatou

"Pernah nggak menyesal bertemu denganku?"

Pertanyaan itu pernah aku lontarkan kepada seseorang, dan jawaban yang aku terima darinya, saat itu agak sedikit tidak membuatku puas.

"Kenapa harus menyesal? Dipertemukan saja sudah untung kan, ya... walau seperti halnya pertemuan itu kita tak pernah tahu kapan datangnya perpisahan."

Di saat kamu sedang begitu tidak ingin kehilangan seseorang, maka jawaban itu benar-benar tidak memuaskan, yup... bukan hanya sedikit. Walau akhirnya ketika perpisahan itu terjadi, dan kemudian kamu memiliki waktu (yg entah berapa lama) untuk kemudian berdamai dengan rasa kehilangan, jawaban itulah yang memang paling masuk akal.

Kadang saat terjadi perpisahan kita menyesali adanya pertemuan, karena siapa sie yang mengharapkan sebuah perpisahan (terlebih saat masih ada rasa sayang/cinta) kan?

Kenangan yang paling menyakitkan mungkin bukan kenangan saat perpisahan itu terjadi tetapi kenangan indah saat masih bersama dan mengetahui bahwa itu kemungkinan untuk terulang sangat begitu kecil. Huft!

Mungkin akan sulit, tetapi kenangan itu justru menunjukkan bahwa saat itu kita benar-benar bahagia. Bahwa semuanya nyata, bukan sebuah kepalsuan walau kemudian harus berakhir.  Bukankah sudah jamak dikatakan "Kalau siap dengan pertemuan harusnya diri juga disiapkan dengan adanya perpisahan."

Bukankah lebih baik pernah merasa dicintai, daripada tidak pernah merasakan karena takut cinta itu akan pergi, ya kan?

Dari tulisan nggak jelas diatas sebenarnya aku hanya ingin menuliskan apa yang tiba-tiba aku rasakan. :)

Bahwa aku, tak pernah menyesal dengan pertemuan denganmu (masa laluku) juga sudah tak lagi menyesal dengan perpisahan yang akhirnya terjadi. ^_^

Dan terima kasih telah memberikan aku kebahagiaan yang mungkin takkan terganti, aku lebih memilih merasa pernah dibuat bahagia dan dicintai daripada merasa pernah ditinggalkan.

#catatan:ketikatibatibapenganupdate#