Pages

Friday, February 28, 2014

Tidak Pedulikah?

Mungkin anda pernah mendengar kalimat ini : Bahwa lawan dari cinta bukanlah benci, tetapi tidak peduli.

Beberapa hari ini saya memikirkan kalimat itu. Tidak peduli = tidak cinta.

Kenapa saya memikirkan kalimat itu?

Karena akhirnya saya memutuskan untuk tidak peduli.

Ah, daripada bingung saya coba ceritakan secara singkatnya bagaimana akhirnya saya memutuskan untuk tidak peduli.

Seorang saudara, beberapa waktu lalu baru saja melahirkan seorang bayi perempuan lucu. Bahkan ada yang bilang wajah bayi itu mirip anak saya yang ragil. :)

Proses melahirkannya (dari cerita saudara saya itu) bisa dikatakan tidak mudah, njelimet. Tapi, Alhamdulillah bisa melahirkan dengan selamat walau melalui operasi.

Saya dan suami serta anak-anak baru sempat berkunjung hari ke 2 saat dirawat di RS, dan saat berkunjung itulah saya tahu adek bayi diberi minum susu formula.

Yang melintas dipikiran saya saat itu, ah... "kenapa nggak bilang, kan bisa aku perahkan asiku... biar adek gak perlu sampai minum sufor." Tapi kemudian, sodara saya bilang kalau ASInya belum keluar tapi pihak rumah sakit sangat PRO ASI. Ah, saya pikir mungkin besok sudah bisa ASI. Jadi saya hanya diam saja.

Selang 2 hari setelah kunjungan saya itu akhirnya mereka bisa pulang, kerumah mertua saya, yang jaraknya hanya 1 blok dari rumah. Waktu itu kami sekeluarga langsung ke rumah mertua, dan betapa kagetnya saya saat mengetahui ternyata adek bayi masih minum sufor.

Saya tidak banyak berkomentar dan bertanya, dan cerita mengalir begitu saja dari saudara saya itu. Dengan santai dia bercerita kalau setiap bidan periksa selalu bilang, "Ayo Bu, ASI ASI" tetapi saudara saya memutuskan untuk baru memulai memberikan ASI di rumah saja. Saya hanya bisa tersenyum, miris.

Tapi apa hubungannya dengan ketidakpedulian saya?

Awalnya saya terus memberi semangat saudara saya untuk ASI. Saya sempat dimintai tolong untuk memandikan bayinya selama beberapa hari, ah saya pikir itu juga bisa jadi jalan saya memberi dia semangat untuk memberi ASI anaknya. Tetapi yang terjadi sungguh membuat saya kecewa.

Setiap saya menyodorkan adek bayi untuk disusui si ibu terkesan menolak, dengan alasan mau mandi dulu atau apalah.

Mungkin saya memang gak berhak menilai usaha saudara saya itu kurang, karena saya tidak tinggal serumah dengannya.

Tetapi hal yang membuat saya akhirnya benar-benar nggak mau peduli lagi adalah saat terakhir saya menengok adek bayi dan waktu itu dia tengah minum sufor. Saya spontan bilang "Loooh ngempeng." Dan secara tak sengaja saya melihat mertua dan saudara saya itu saling lihat dan dari tatapan mereka saya seperti "mendengar" : wes mulai lagi wes bahas asi.

Mungkin itu hanya perasaan saya, tapi jujur perasaan saya saat melihat tatapan itu nggak enak banget.

Dan saya bilang pada tentang apa yang saya pikirkan, benarkah saya sudah tidak peduli? Membiarkan adik bayi tidak mendapatkan haknya menerima ASI?

Suami saya hanya bilang : sudah lah... percuma memang mau bantu kalau yang mau dibantu menolak. Doakan saja. Itu bentuk kepedulian kita.

Sunday, February 9, 2014

Penggal Kisah. (2)

Sekarang atau nanti apa bedanya?

Mungkin kamu ingat pertanyaanku saat itu. Ketika aku menanyakan keputusanmu akan hubungan kita.

Aku bertanya begitu, karena aku sudah tau jawaban yang akan kau berikan.

Aku hanya ingin mempermudahmu, juga… mempermudah diriku sendiri.

Mungkin, tak mudah bagimu untuk berbohong. Karenanya aku mempersingkat waktu supaya kamu tak perlu lagi melakukannya.

Dan bagiku, aku hanya mencoba untuk secepat mungkin melepaskan harapanku. Karena aku tahu, harapan itu sudah terbang.

Penggal Kisah. (1)

Apapun cara dan upaya yang kamu lakukan untuk bersama dengan seseorang, tapi ternyata jalan takdir menentukan ia bukanlah untukmu, maka semua akan sia-sia.

Sia-sia kah?

***

Aku mengenalmu, dan kemudian sesaat takdir seakan berkata bahwa dirimu bukanlah untukku. Dan aku menerima itu, begitu saja.

Sakit? Entah apa namanya ketika sebuah keputusan diambil atas diri kita tanpa campur tangan kita, dan kita hanya merasa mau-tak-mau menerimanya, begitu saja.

Hingga di suatu waktu, takdir mempertemukan kita kembali. Tapi sepertinya takdir sedang asyik mempermainkanku, dan mungkin juga dirimu. Kita bertemu tapi untuk kembali bersama, bukan tak mungkin tapi ada yang harus dikorbankan untuk itu.

***

Mungkin tidak sia-sia, karena tak ada penyesalan yang lebih menyesakkan ketika kamu melepaskan sebuah kesempatan tanpa usaha.

Mencoba itu bisa gagal atau berhasil, tetapi berdiam diri hasilnya sudah pasti sebuah kegagalan.

***
Aku memperjuangkanmu, berusaha untuk tetap bersamamu. Berkorban?Aku tidak merasa berkorban, karenaapa yang aku lakukan bukan untuk siapa-siapa melainkan untuk diriku, untuk bisa bersamamu.

Namun lagi-lagi, takdir rupanya masih senang bermain. Kembali, iamenunjukkan bahwa kamu bukanlah untukku. Sekali lagi, aku menerimanya, begitu saja.

Sakit? Jujur, sakitnya tak seperti dahulu walau apa yang terjadi tak jauh berbeda. Bahkan aku seperti mengalami de javu.

Aku hanya merasa sudah berusaha untuk bersamamu. Tapi ternyata gagal.

***

Aku hanya kembali ke awal.