Mesin waktu, itulah dirimu bagiku. Saat menatapmu maka tanpa bisa aku cegah waktu seolah berputar kembali pada suatu masa. Masa yang selama ini coba kuenyahkan dari labirin kenanganku. Tapi, kamu tanpa berbuat apapun, cukup dengan senyum bahkan diammu mampu menarikku kembali ke masa itu.
Menghindarimu itu satu-satunya cara yang dapat aku lakukan, walau ternyata melakukannya tak semudah aku berlari menjauhimu. Ada luka tersendiri bahkan saat memikirkannya. Dan ketika niat melangkah menjauh itu terbersit kembali, aku hanya bisa membisikkan kata "maaf".
Seperti saat ini, aku hanya bisa berdiri di sudut tersembunyi ini. Memandangmu, cukup tahu kau berada di sana tanpa perlu menatap sosokmu lekat-lekat.
"Apakah kamu masih marah padanya?"
Tepukan dibahuku mengagetkanku. Tanpa perlu menoleh aku tahu siapa yang melontarkan pertanyaan itu.
"Kamu tahu apa alasannya." jawabku nyaris berbisik.
"Tapi bukankah dia tak bersalah, mengapa beban itu kamu limpahkan padanya?" Kini pemilik suara itu sudah berdiri disebelahku.
"Sudahlah tak perlu dibahas lagi, kamu tak akan mengerti apa yang sedang kurasakan!" jawabku ketus dan melangkah menjauh.
"Aku...," kalimatnya terhenti, mau tak mau aku menghentikan langkahku, dan kemudian ia kembali berujar, "aku memang tak mengerti dan mungkin tak akan pernah mengerti, aku hanya takut. Takut lukamu justru akan ikut melukainya dan membawamu pada penyesalan yang tak berujung. Dia..." Sekali lagi kalimatnya terhenti, membuatku menolah, menampakkan wajah tak sabar menanti ia menyelesaikan kalimatnya.
"Mereka mungkin terhubung, tapi mereka bukanlah orang yang sama. Dia tidak melukaimu, walau mungkin ia membawamu pada kenangan yang ingin kamu lupakan. Dia justru akan membantumu menyembuhkan luka hatimu. Ah..."
Kudapati nada putus asa saat dia berbicara, dan sekali lagi aku berkata, "kamu nggak ngerti," dengan nada tak kalah putus asa.
"Cobalah... cobalah lebih keras lagi. Dia dihadirkan Allah bukan untuk kamu sia-siakan, hanya kamu yang dia punya. Lelaki mungil itu membutuhkanmu, ibunya. Apakah kamu ingin seperti ayahnya, pergi begitu saja, meninggalkan tanggung jawab yang ia punya?"
Kalimat terakhir itu begitu menohok tepat ke ulu hatiku. Ayahnya mungkin meninggalkannya karena tak mengetahui kehadirannya, sedang aku?? Lututku seketika lemas, dan aku hanya bisa terduduk di lantai dingin Rumah Sakit sambil tergugu.