Menikahlah Denganku
Sore itu kita berdua berjalan di tepian pantai. Semburat senja yang ada dibatas cakrawala membuat sore ini tampak begitu indah, terlebih dengan adanya dirimu di sampingku. Kadang aku ingin menghentikan waktu disaat-saat seperti ini.
“Menikahlah denganku.” Ucapmu tiba-tiba.
Dan aku hanya tersenyum menanggapinya.
“Kok cuman senyum aja?” Kamu menghentikan langkah tepat dihadapanku. Aku dapat melihat senyummu dibalik silau kilau cahaya mentari yang mulai beranjak pergi.
Bagaimana aku bisa menolak sesosok tubuh tegap dengan mata elang dan senyuman yang menawan sepertimu. Belum lagi segala bentuk perhatian yang kamu berikan, juga celotehmu yang kadang tanpa kamu sadari sudah memberikan warna tersendiri untuk hariku.
Pertanyaanmu itu membuat semua tampak sempurna, kemilau senja walau akhirnya hanya membuatku melihat siluet wajahmu tapi tetap ada rasa hangat aku rasakan.
Tapi lidahku terasa kelu, saat akan menjawab pertanyaanmu itu.
“Menikahlah denganku.” Kamu mengulangi permintaanmu itu.
“Apakah kamu mencintaiku?” Ah, bodohnya aku bukannya langsung menjawab malah kembali mempertanyakan cintamu.
“Ya, tentu saja aku mencintaimu. Kalau aku tidak mencintaimu, untuk apa aku memintamu untuk menikah denganku.”
“Diplomatis.” Ujarku sambil menahan tawa. Dan sebelum kamu sempat protes, aku kembali mengajukan pertanyaan padamu. “Apa alasan kamu mencintaiku?”
“Aku mencintaimu karena…” Sejenak kamu terdiam, seolah mencari kata yang tepat untuk menggambarkan perasaanmu. “Aku mencintaimu karena… entahlah, aku tak tahu. Yang aku tahu, aku hanya mencintaimu, dan karena itu aku memintamu menjadi istriku.”
Aku hanya tersenyum mendengarkan penjelasanmu. Satu jawaban yang dulu pernah aku ungkapkan, bahwa mencintai seseorang itu terkadang tak membutuhkan alasan. Karena secara logika, jika kita mencintai seseorang dengan alasan tertentu, maka ketika alasan itu hilang bisa diartikan hilang juga rasa cinta yang kita miliki.
Kamu masih menatapku, seakan menunggu jawaban dariku.
Akhirnya sekali lagi kamu berkata, “Menikahlah denganku.”
Kini aku berusaha menjawab ajakanmu itu, walau dengan sedikit terbata. “Aku mau menikah denganmu. Menjalani hari demi hari bersamamu, saling menyempurnakan.”
Kamu tersenyum mendengarnya, dan dengan senyum itu kamu tampak semakin tampan. Tanpa sadar air mataku luruh. Aku berusaha menghapusnya sebelum kamu sempat melihatnya. Aku menangis, dalam bingkai bayangku apa yang kita bicarakan tadi bukan hanya sekedar sandiwara, dimana kamu sedang melatih diri untuk melamar kekasihmu. Karena tak tahukah kamu, aku ingin sekali mendengar ajakanmu itu benar-benar tertuju padaku. Seseorang yang hanya kamu anggap sebagai sahabat.
*menerima kritik dan saran*
jumlah kata : 364 Kata ^^
kunjungan pertama mbak :)
ReplyDeletehiks..... kirain mau happy ending :( ternyata..... hwaaaaaa...... tidak terduga :D
ReplyDelete