Aku masih sangat ingat percakapan itu, setiap detail kata yang ia ucapkan.
***
"Mengapa kamu tiba-tiba bertanya seperti itu? Apa aku berbuat salah?"
Bukannya menjawab pertanyaanku, kamu justru menodongku dengan pertanyaan lain. Ya, walau memang wajar kamu bertanya seperti itu ketika aku tiba-tiba bertanya, "Bagaimana kalau kita jalan masing-masing dulu?"
"Aku hanya tak ingin menyakitimu." kataku sambil menatapmu, menatap dua bola matamu yang aku tahu mulai ada sedikit air mata disana. Ah, aku benci situasi ini. Tapi memang itulah alasanku.
Kamu terdiam cukup lama, sebelum akhirnya berujar, "kamu tak pernah menyakitiku, tak tahukah bahwa kamu salah satu sumber bahagiaku?"
Mendengar ucapanmu, ganti aku yang hanya bisa terdiam. Aku ingin merengkuhmu dalam pelukanku, ingin mengatakan aku sedang becanda, tapi tidak... aku tak bisa lagi memelukmu dan aku tidak sedang becanda.
"Aku... aku hanya tak ingin ada orang lain, khususnya keluargaku yang menyakitimu." Entah kamu mendengar ucapanku itu atau tidak, karena entah mengapa lidahku terasa kelu dan akhirnya aku mengatakannya sambil menunduk serta suara yang keluar layaknya sedang berbisik. Sedetik kemudian saat aku kembali menatapmu, aku tahu bahwa kamu mendengarnya.
Kamu hanya diam, walau aku tau dari sorot matamu mengatakan kamu percaya dengan alasanku juga tersirat bahwa kamu tak setuju dengan ucapanku itu. Tapi tak ada satu katapun yang terucap darimu.
Hingga akhirnya aku putuskan untuk pulang. Ketika aku hendak menyalakan mesin motorku, tiba-tiba kamu berkata, "Baiklah, jika itu maumu. Jika itu yang terbaik menurutmu."
Sedikit kaget aku mendengar ucapanmu itu, hingga aku hanya bisa diam. Tak tahu harus berkata apa, karena rasa nyeri begitu meraja dihatiku, rasa yang beberapa hari ini berusaha aku tepis. Dan aku hanya bisa menatap punggungmu menjauh, hingga kamu menutup pintu rumah.
Aku mulai melajukan sepeda motorku, tapi akhirnya aku berhenti tak jauh dari rumahmu. Saat aku masih terdiam di atas sepeda motor, tiba-tiba ada pesan masuk di HPku, darimu.
Apakah kamu tak pernah tahu, bahwa hal yang menyakitiku tak mudah diciptakan oleh orang lain, kecuali mereka merenggut sumber bahagiaku.
***
Seminggu kita tak bertemu, tak saling memberi kabar. Walau aku ingin tapi bukankah perpisahan itu aku juga yang inginkan, maka kuurungkan niat setiap kali ingin menghubungimu.
Aku menyesal saat terakhir kita bertemu, aku tak merengkuhmu dalam pelukku. Aku hanya tak menyangka bahwa aku tak kan lagi bisa memelukmu, selamanya.
Hari ini aku putuskan untuk menemuimu, tapi aku tak kuasa untuk melihatmu. Tapi jika tidak sekarang, maka aku tak akan memiliki kesempatan lagi.
Kini aku hanya bisa melihatmu, mengagumi kecantikanmu, tanpa bisa lagi memelukmu. Aku hanya bisa berujar lirih, "Maafkan aku..." dan air mataku memaksaku menjauhimu. Menjauhi jasadmu yang sesaat lagi akan dikebumikan.
Aku berusaha menjauhkanmu dari orang-orang yang aku anggap dapat membuat hatimu terluka, justru aku yang membuatmu terluka.